Friday, May 19, 2017

Afi Nihaya Faradisa : Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir

Lagi dan lagi, Afi Nihaya Faradisa kembali menjadi perbincangan netizen lantaran tulisannya di media sosial menjadi viral dan heboh. Tulisan tersebut dibuat sejak tanggal 15 mei 2017 pukul 10:21 dengan judul "Warisan". Tulisan ini membahas mengenai indahnya keberagaman yang ada di Indonesia. 
Foto: Afi Nihaya Faradisa (Facebook.com/afinihaya)
Di usianya yang terbilang masih remaja, tak sedikit orang dewasa dan juga orangtua memuji Afi, bahkan mungkin mereka mulai jatuh cinta dengan pandangan dan pola pikir Afi yang dituangkan ke dalam sebuah tulisannya. Diketahui, Afi merupakan salah seorang Siswi SMA Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur. Tulisan-tulisannya memang selalu ramai dan dinikmati banyak orang. 

Nah lewat tulisannya berjudul "warisan" yang sedang heboh kali ini, Afi pun mengajak seluruh warganegara Indonesia untuk bisa menjaga toleransi, khususnya di media sosial. Kini, berdasarkan hasil pantauan bidikbeasiswa.top di akun facebook milik Afi, tulisan berjudul "warisan" ini sudah dibagikan sekitar 27.472 kali tanggal 19/05/2017 (Update pukul 06:08) dan sudah mendapatkan respon sebanyak 5,2 rb komentar. Wow! banget bukan? :)

Penasaran tulisan afi berjudul "warisan" itu seperti apa? yuk, simak dibawah ini!

WARISAN

Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Foto: Afi Nihaya Faradisa (Facebook.com/afinihaya)

Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan. Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka. Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata. 

Maka, bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu. 

Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
.
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman". Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya". Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
.
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
.
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.

Nah, itulah tulisan yang dibuat oleh Afi Nihaya Faradisa yang saat ini masih hangat di perbincangkan di sosial media. Mari sejenak kita merenung dari apa yang sudah ditulis anak remaja ini. Semoga bermanfaat!

Bidik Beasiswa merupakan portal pendidikan yang menyajikan info beasiswa dalam negeri, beasiswa luar negeri, tips dan trik beasiswa.


EmoticonEmoticon